Dalam kesejukan
udara pagi yang segar, aku selalu ikhlas merelakan usainya tidurku untuk
menikmati pesonanya. Saat asap kendaraan belum banyak menjadi pengusik, saat
para wanita sedang menjamu dan mempersiapkan sanak keluarganya untuk
beraktivitas. Andai pagi itu lebih lama, tak perlu ku curi udara pagi dengan
tergesa-gesa. Pagi ini sama seperti biasanya, aku terbaring dengan jendela
kamar yang telah terbuka. Terhanyut dalam wangi bunga Edelwis. Bunga yang
dibawakan orang special bagiku. Tanda akan keabadian kasih sayang antara aku
dan dia.
Bunga ini punya
cerita tersendiri bagiku. Bunga yang selalu kutunggu setiap pagi bukan hanya
karena keabadian makna dibalik bunga ini saja tapi terpenting adalah karena
kehadiran pemberinya. Aku selalu menunggu setiap pagi, karena hanya pagi dapat
kucium bau tubuhnya. Aku selalu berusaha bangun sepagi mungkin, karena dia
hadir amat pagi dan singkat. Aku ingin waktu pagi hanyalah milikku meski hanya
sesaat aku dapat bersamanya. Meski hanya belayan tangan didahiku yang selalu
kurasa, diam tanpa kata. Aku yang pura-pura tertidur hanya bisa mendengar
langkah kakinya yang diselimuti keraguan, hembus napasnya yang disesaki
penyesalan dan belai tangan yang dikekang kesepian. Aku benci dengan
kepura-puraan tapi aku amat akbar dengan itu. Aku memang selalu pura-pura
tertidur karena dengan begitu dia tak akan lari. Dalam tidur selalu ku coba
menafsirkan kata-kata dalam belaiannya. Rasa penyesalahan, permohonan maaf dan
kesepian, itu yang selalu kurasa dalam belai tangannya. Orang itu begitu rapuh
karena terlalu sering menyalahkan dirinya. Orang itu adalah pria yang kucintai.
Kembali pagi ini
aku mendengar jejak langkah dari sepatunya. Tapi ada yang berbeda kali ini, ada
tetes air mata yang jatuh. Ada isakan yang gemetar. Ada bisikan yang suaranya
payau. Ada genggam tangan yang begitu terkekang. Ada pesan dalam tubuhnya bagai
ingin mengatakan kata perpisahan. Tak kuasa kebingungan kenyelimutiku,
ketakutan menusuk bagian dalam hatiku. Aku tak ingin lagi jauh darinya,
memendam rindu hanya untuk merasakan kehadirannya. Bukan sekedar rindu yang
akan menyesakkan hati, tapi menunggu yang tak pasti untuk datang kembali itu
lebih menyiksa karena membuat suasana hati sepi. Diam, tak apalah kami saling
diam, saling menyembunyikan rindu dalam keheningan karena kami sudah terbiasa
saling menjabarkan makna sentuhan menjadi kata-kata.
Rasa takut telah
mengalahkan kepura-puraanku. Aku bangun dari kepura-puraan tidurku. Menggenggam
erat tanggannya, menarik tubuhnya yang semakin menjauh ketika tahu aku terbangun.
Dia terkejut dan mencoba melepaskan genggamanku. Tapi aku tahu rasa rindunya
sama besar dengan rasa rinduku. Aku tarik tubuhnya, kusandarkan kepalaku
dibahunya. Dia pun mengalah, membelai rambutku, melepas rindu padaku, dan
mencium keningku. Aku penasaran dengan wajahnya setelah tiga tahun kami tak
saling bertemu. Ku pegang hidungnya, dahinya, bibirnya. Ah, rasanya dia masih
gagah seperti yang kukenal dulu. Perlahan kuhapus air mata yang ada di
wajahnya, begitu hangat air matanya, begitu sedihkah pria ini melihat wanita
yang paling dicintainya sedang berbaring tanpa bisa melihatnya yang sudah lama
tak berjumpa. Ia langsung memelukku begitu erat dan perlahan berlalu pergi.
Lagi-lagi kami hanya diam, tanpa satu kata yang terucap, hanya tubuh kami yang
saling menjabarkan kata.
Dia pergi, tapi
kepergian yang tak biasa. langkah kakinya berbicara bahwa dia dalam keraguan
dan seakan ingin berucap selamat tinggal. Sampai langkah kaki itu tak
terdengar, aku terus menangis. Berteriak namanya. Berharap suaraku akan
menggerakan tubuhnya untuk kembali. Tapi jejak langkahnya semakin menjauh, dan
akhirnya tak dapat kudengar. Dia telah pergi.
Ibu datang
menghampiriku, membawakan sarapan yang sudah disiapkan rumah sakit. Menyuapiku
perlahan dengan penuh sayang. Dengan sabar merawatku yang sudah dua minggu
dalam pembaringan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dan ibu mencoba
menghiburku tanpa bertanya kenapa menangis. Meski ia tahu alasan kesedihanku. Bagi
ibu, tak ada kata dan cerita untuk pria itu. pria itu dianggapnya adalah
kegelapan untukku. Besarnya kebencian ibu pada pria itu sama layaknya rasa
cintaku kepada pria itu. kami hanya mencoba saling menghargai. Mungkin karena
rasa cinta yang amat besar juga membuat kebencian besar di hati ibu.
“Gendis, Dr
Hermawan bilang dua hari lagi kamu sudah bisa dioperasi.” Kata ibu yang sedang
menyuapiku makan.
Entah mengapa
aku tak begitu bahagia. Bagai teka-teki dari sikap pria itu telah ku pecahkan.
Benarkah dia tak akan lagi hadir dipagi hari karena tahu aku akan dioperasi dan
kembali bisa melihat. Apakah mataku begitu menggambarkan kebencian padanya. Haruskah
aku terus memandangnya dalam gelap agar selalu bisa bersamanya. Bahkan
kegelapan dunia tak apa bagiku selagi dia ada disampingku. Kegelapan ini yang
membawanya datang padaku dan mungkinkah kegelapan ini juga yang akan menjauhkannya
dariku.
Ibu membawa ku
keruang Dr Hermawan. Segera aku menjalani banyak pemeriksaan. Kebutaan yang
kualami akibat kecelakaan. setelah
tiga tahun aku dalam kebutaan, ibu memperkenalkan ku dengan dr Hermawan yang
tak lain adalah kekasih ibu. Dokter Hermawan adalah pria yang baik untuk ibu. Dua
tahun lalu, setelah ibu mencari dokter untuk mengobati kebutaanku, ibu
dikenalkan dengan dokter Hermawan. Karena keduanya pernah merasakan kegagalan
rumah tangga, hubungan ibu dan dokter Hermawan terus berlanjut dan berencana akan
menikah setalah operasiku ini. Bagiku, kebahagiaan ibu adalah kebahagianku. Sehingga
aku langsung menyetujui ketika ibu memperkenalkan dokter Hermawan sebagai
kekasihnya padaku.
“Lusa kamu bisa
dioperasi. Kondisi kamu semakin membaik. Kemungkinan besar untuk kamu kembali
bisa melihat.” Ucap dokter Hermawan diakhir
penjelasannya.
Ibu hari ini
pergi bersama paman. Mengurus persiapan operasiku.
-
- -
Pagi ini ada
cahaya yang masuk ke retinaku. Membuat banyak warna dalam penglihatanku. Agak
asing melihat begitu banyak warna dimataku. Rasanya, suasana ketika mata
terpejam lebih akrab denganku. sinarnya terlalu silau, membuatku seringkali harus
mengerutkan mata. pagi ini tepat disaat perban dimataku dibuka dan aku bisa
melihat warna-warni disekelilingku. Ibu, dokter Hermawan, paman, Ranti dan
beberapa kerabat lainnya. Juga tak lupa ku lihat bunga Edelwis di jendela kamar
yang kulihat untuk pertamakalinya. Ada yang kurang saat itu, tak ada dia dalam
penglihatanku.
Aku membutuhkan
waktu yang lebih lama, karena ada sesorang yang sedang kutunggu. Aku
membutuhkan sinar yang lebih banyak karena untuk melihatnya sinar pagi ini tak
cukup. Aku membutuhkan kepastian kapan datangnya dirinya, karena ada rindu yang
terus menunggu. Dalam doa aku selalu berharap pemberi bunga itu yang akan aku
lihat pertamakali. Bahkan sebelum operasi, aku berharap setidaknya dalam bawah
sadarku aku bisa bertemu atau mendengar langkah kakinya. Tapi, tak ada
sedikitpun tanda kedatangannya.
Tiga bulan
setelah operasi mata yang kujalani, tak ada masalah serius dari mataku. Bahkan dokter
Hermawan bilang mataku sudah pulih total. Tapi ada sisi yang kosong dalam
hatiku. Ada bagian dari dunia ini yang amat indah tapi belum sempat kulihat
lagi. Ada mata yang memerah setiapkali ingat sebenarnya mata ini menunggu
seseorang untuk dilihatnya. Aku merindukan dia, yang tak pernah lagi kudengar
jejak langkahnya mendekat.
Hari ini, ibu
memintaku dan Ranti menyebarkan beberapa surat undangan dan mengambil beberapa
barang untuk persiapan pernikahannya.
“Gendis,
pilihkanlah bunga yang cantik untuk ibu. Kemudian berikanlah surat undangan ini
untuk penjual bunga itu.” Ibu memberiku sebuah alamat toko bunga. Agak aneh
rasanya, ibu yang tidak meyukai bunga memintaku untuk mengambil bunga
pesanannya dan memintaku memilihkan bunga untuknya. Mungkin saat momen
pernikahannya ibu ingin banyak di hiasi bunga yang mengambarkan kebahagiaannya.
Aku dan ranti
keluar dari sebuah butik yang membuat gaun pernikahan ibu. Kemudian kami
memisahkan diri. Ranti pergi menuju tempat pembuatan kue yang telah ibu pesan
dan aku pergi meuju toko bunga yang telah ibu tunjukan.
Aku
menyusuri jalan sendiri untuk pertamakalinya setelah mataku kembali bisa
melihat. Agak canggung rasanya melihatnya banyak kerumunan orang dan kendaraan
dijalan. Rasa takut karena kesendirian tiba-tiba merasuk dalam diriku. Aku berbalik,
lalu melangkah mencari Ranti, berharap disepanjang penglihatanku ia masih
terlihat. Tapi Ranti sepertinya sudah jauh berjalan. Aku beranikan diri terus
mencari alamat yang dituju. Bertanya letak toko bunga itu berada. Sampai akhirnya
kutemui toko bunga yang dituliskan dalam kartu nama yang ibu berikan padaku. Aku
terus melangkah mendekati toko itu. Aku melihat dibalik kaca toko itu ada
seorang pria yang sedang merapihkan bunga-bunganya.mungkin dia adalah pemilik
toko bunga.
Semakin
aku berjalan mendekati toko bunga tersebut. Sambil melihat bunga yang cocok
untuk pernikahan ibu. Tepat didepan pintu masuk aku mencari keberadaan pria
yang tadi kulihat dari kaca transparan tokonya. Pria itu masih saja merapihkan
bunga-bunganya dengan posisi membelakangi dinding kaca yang transparan itu
sehingga aku tak dapat melihat wajahnya.
Aku
memperhatikannya, pria itu mungkin sudah agak tua. Dengan tongkat yang ia
pegang oleh tangan kirinya dan bunga-bunga yang ia rapihkan dengan tangan kanannya.
Aku bisa menebak bahwa pria ini adalah pria yang penuh perjuangan dan ketegaran.
Perlahan aku semakin mendekati pintu masuk dan membuka pintu itu.
Sesaat
aliran darahku, jantungku rasanya terhenti dan mati rasa. Aku melihat wajahnya.
Wajah yang tak asing dalam mata bahkan hatiku. Wajah yang biasanya hanya bisa
hadir dalam gelap mataku. Sosok yang kutunggu kehadirannya, menyapa pagiku.
Pria yang hanya bisa kutemui dilangit kehadirannya dalam doa-doa yang ia
panjatkan untukku. Selipan harap yang menugurku bahwa rindu yang terjaga tak
sekedar membuat sakit penantian, tetapi obat kesepian. Hatiku sakit menunggu
kepastian kehadirannya dan hati ini pula yang kembali pulih dari kesepian
ketika bertemunya. Rindu yang hadir diantara cinta dan amarah. Penantian yang
muncul karena kesepian dan penyesalan. Kini sudah terbayar. Meski pertemuan yang
ada dilumuri antara keberanian dan rasa bersalah. Aku melangkah mendekatinya
dengan bibir yang membeku tapi memaksa untuk berucap.
“Ayah”.
Hanya itu yang terucap. Aku tak bisa lagi berpura-pura dalam diam seperti dulu.
Meski hanya satu kata itu yang dapat terucap.
Ia
membalikkan badannya kearahku, dan terjatuh sesaat ketika dia melihatku karena
tongkat yang ia pegang terlepas dari tangannya. Serapuh inikah sosok yang
kutunggu. Bahkan dia lebih menyedihkan dari yang kukira. Kebencian karena dia
pernah pergi dariku sirna ketika kulihat mungkin kenyataan membuat dia takut
menghadapku. Ayah yang selama ini hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Selalu
mempersalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku dan ibu.
Dulu
aku hidup bahagia bersama ayah dan ibu, tepatnya sebelum ayah mengalami
kebangkrutan dan laporan bahwa ayah terlibat dalam kasus suap menyuap. Saat itu,
ayah dan ibu langsung berpisah. Ibu membawaku pergi tanpa memberiku kesempatan
untuk bertemu dengan ayah. Kejadian itu sudah tujuh tahun yang lalu. Setelah itu
tak ada kabar lagi yang kudengar dari ayah. Sampai akhirnya, sekitar 3 tahun
yang lalu ayah mengirim surat untukku, mengabarkan keadaannya baik-baik saja
dan perkara suap menyuapnya sudah dinyatakan tak bersalah. Dalam hal ini aku
tak menyalahkan ibu yang berpisah dengan ayah dalam keadaan ayah sulit. Ibu marah
pada ayah bukan karena kebangkrutannya. Ibu marah karena ayah terlalu pengecut
terhadap keadaan. Ingat benar dalam benakku bahwa ayah meminta ibu untuk
sementara pulang kerumah nenek sampai masalah ekonomi keluarga membaik. Saat itu,
ibu ingin berjuang disamping ayah. Tapi ayah terlalu takut untuk melihat ibu
dan aku mehadapi permasalahan yang dialaminya. Sampai akhirnya, cinta ayah yang
besar pada ibu, membuat ayah melepas ibu dan aku.
Setelah
surat yang kuterima dari ayah, aku langsung mencari keberadaan ayah tanpa
sepengetahuan ibu. Kami bertemu meski hanya dalam hitungan jam. Ayah langsung
mengantarkanku pulang. Tak kusangka dalam perjalanan motor yang membawa aku dan
ayah mengalami kecelakaan yang membutakan mataku. Saat itulah, kebencian ibu
makin mendalam saat tahu aku pergi bersama ayah. Cinta telah menumbuhkan rasa
amarah ibu kepada ayah. Cinta telah membuat rasa bersalah dan penyesalan besar
bagi ayah. Cinta yang memudarkan garis mimpi dan kenyataan untukku. Cinta yang
ada ada dibatas rindu dan kebencian.
Melihat
kondisi ayah aku menangis. Tertusuk hatiku mengingat rasa bersalah yang ia
rasakan tak sepatutnya ada. Tubuh yang tak lagi tegap membuatku tahu bebannya
teramat besar. Kaki kiri yang tak lagi sempurna mengabarkan padaku bahwa dia
juga menderita. Kebutaan yang kualami, tak seharusnya dipersalahkan padanya. Sering
kutanya kenapa langkah ayah membuat suara unik sehingga bisa kukenali jelas. Dan
terjawablah, suara itu, dari tongkat yang dibawanya.
Aku
berlari memeluk ayah yang terduduk dilantai. Memeluknya begitu lama sampai mata
ini terpusat pada satu objek. Bunga Edelweis. Bunga yang ia kirimkan dan ia
simpan dijendela kamarku. Bunga yang ingin mengatakan bahwa cinta ayah padaku
bertahan seper