Jumat, 12 Februari 2016

EDELWEIS


Dalam kesejukan udara pagi yang segar, aku selalu ikhlas merelakan usainya tidurku untuk menikmati pesonanya. Saat asap kendaraan belum banyak menjadi pengusik, saat para wanita sedang menjamu dan mempersiapkan sanak keluarganya untuk beraktivitas. Andai pagi itu lebih lama, tak perlu ku curi udara pagi dengan tergesa-gesa. Pagi ini sama seperti biasanya, aku terbaring dengan jendela kamar yang telah terbuka. Terhanyut dalam wangi bunga Edelwis. Bunga yang dibawakan orang special bagiku. Tanda akan keabadian kasih sayang antara aku dan dia.
Bunga ini punya cerita tersendiri bagiku. Bunga yang selalu kutunggu setiap pagi bukan hanya karena keabadian makna dibalik bunga ini saja tapi terpenting adalah karena kehadiran pemberinya. Aku selalu menunggu setiap pagi, karena hanya pagi dapat kucium bau tubuhnya. Aku selalu berusaha bangun sepagi mungkin, karena dia hadir amat pagi dan singkat. Aku ingin waktu pagi hanyalah milikku meski hanya sesaat aku dapat bersamanya. Meski hanya belayan tangan didahiku yang selalu kurasa, diam tanpa kata. Aku yang pura-pura tertidur hanya bisa mendengar langkah kakinya yang diselimuti keraguan, hembus napasnya yang disesaki penyesalan dan belai tangan yang dikekang kesepian. Aku benci dengan kepura-puraan tapi aku amat akbar dengan itu. Aku memang selalu pura-pura tertidur karena dengan begitu dia tak akan lari. Dalam tidur selalu ku coba menafsirkan kata-kata dalam belaiannya. Rasa penyesalahan, permohonan maaf dan kesepian, itu yang selalu kurasa dalam belai tangannya. Orang itu begitu rapuh karena terlalu sering menyalahkan dirinya. Orang itu adalah pria yang kucintai.
Kembali pagi ini aku mendengar jejak langkah dari sepatunya. Tapi ada yang berbeda kali ini, ada tetes air mata yang jatuh. Ada isakan yang gemetar. Ada bisikan yang suaranya payau. Ada genggam tangan yang begitu terkekang. Ada pesan dalam tubuhnya bagai ingin mengatakan kata perpisahan. Tak kuasa kebingungan kenyelimutiku, ketakutan menusuk bagian dalam hatiku. Aku tak ingin lagi jauh darinya, memendam rindu hanya untuk merasakan kehadirannya. Bukan sekedar rindu yang akan menyesakkan hati, tapi menunggu yang tak pasti untuk datang kembali itu lebih menyiksa karena membuat suasana hati sepi. Diam, tak apalah kami saling diam, saling menyembunyikan rindu dalam keheningan karena kami sudah terbiasa saling menjabarkan makna sentuhan menjadi kata-kata.
Rasa takut telah mengalahkan kepura-puraanku. Aku bangun dari kepura-puraan tidurku. Menggenggam erat tanggannya, menarik tubuhnya yang semakin menjauh ketika tahu aku terbangun. Dia terkejut dan mencoba melepaskan genggamanku. Tapi aku tahu rasa rindunya sama besar dengan rasa rinduku. Aku tarik tubuhnya, kusandarkan kepalaku dibahunya. Dia pun mengalah, membelai rambutku, melepas rindu padaku, dan mencium keningku. Aku penasaran dengan wajahnya setelah tiga tahun kami tak saling bertemu. Ku pegang hidungnya, dahinya, bibirnya. Ah, rasanya dia masih gagah seperti yang kukenal dulu. Perlahan kuhapus air mata yang ada di wajahnya, begitu hangat air matanya, begitu sedihkah pria ini melihat wanita yang paling dicintainya sedang berbaring tanpa bisa melihatnya yang sudah lama tak berjumpa. Ia langsung memelukku begitu erat dan perlahan berlalu pergi. Lagi-lagi kami hanya diam, tanpa satu kata yang terucap, hanya tubuh kami yang saling menjabarkan kata.
Dia pergi, tapi kepergian yang tak biasa. langkah kakinya berbicara bahwa dia dalam keraguan dan seakan ingin berucap selamat tinggal. Sampai langkah kaki itu tak terdengar, aku terus menangis. Berteriak namanya. Berharap suaraku akan menggerakan tubuhnya untuk kembali. Tapi jejak langkahnya semakin menjauh, dan akhirnya tak dapat kudengar. Dia telah pergi.
Ibu datang menghampiriku, membawakan sarapan yang sudah disiapkan rumah sakit. Menyuapiku perlahan dengan penuh sayang. Dengan sabar merawatku yang sudah dua minggu dalam pembaringan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dan ibu mencoba menghiburku tanpa bertanya kenapa menangis. Meski ia tahu alasan kesedihanku. Bagi ibu, tak ada kata dan cerita untuk pria itu. pria itu dianggapnya adalah kegelapan untukku. Besarnya kebencian ibu pada pria itu sama layaknya rasa cintaku kepada pria itu. kami hanya mencoba saling menghargai. Mungkin karena rasa cinta yang amat besar juga membuat kebencian besar di hati ibu.
“Gendis, Dr Hermawan bilang dua hari lagi kamu sudah bisa dioperasi.” Kata ibu yang sedang menyuapiku makan.
Entah mengapa aku tak begitu bahagia. Bagai teka-teki dari sikap pria itu telah ku pecahkan. Benarkah dia tak akan lagi hadir dipagi hari karena tahu aku akan dioperasi dan kembali bisa melihat. Apakah mataku begitu menggambarkan kebencian padanya. Haruskah aku terus memandangnya dalam gelap agar selalu bisa bersamanya. Bahkan kegelapan dunia tak apa bagiku selagi dia ada disampingku. Kegelapan ini yang membawanya datang padaku dan mungkinkah kegelapan ini juga yang akan menjauhkannya dariku.
Ibu membawa ku keruang Dr Hermawan. Segera aku menjalani banyak pemeriksaan. Kebutaan yang kualami akibat kecelakaan. setelah tiga tahun aku dalam kebutaan, ibu memperkenalkan ku dengan dr Hermawan yang tak lain adalah kekasih ibu. Dokter Hermawan adalah pria yang baik untuk ibu. Dua tahun lalu, setelah ibu mencari dokter untuk mengobati kebutaanku, ibu dikenalkan dengan dokter Hermawan. Karena keduanya pernah merasakan kegagalan rumah tangga, hubungan ibu dan dokter Hermawan terus berlanjut dan berencana akan menikah setalah operasiku ini. Bagiku, kebahagiaan ibu adalah kebahagianku. Sehingga aku langsung menyetujui ketika ibu memperkenalkan dokter Hermawan sebagai kekasihnya padaku.
“Lusa kamu bisa dioperasi. Kondisi kamu semakin membaik. Kemungkinan besar untuk kamu kembali bisa melihat.” Ucap dokter Hermawan  diakhir penjelasannya.
Ibu hari ini pergi bersama paman. Mengurus persiapan operasiku.
-          -      -             
Pagi ini ada cahaya yang masuk ke retinaku. Membuat banyak warna dalam penglihatanku. Agak asing melihat begitu banyak warna dimataku. Rasanya, suasana ketika mata terpejam lebih akrab denganku. sinarnya terlalu silau, membuatku seringkali harus mengerutkan mata. pagi ini tepat disaat perban dimataku dibuka dan aku bisa melihat warna-warni disekelilingku. Ibu, dokter Hermawan, paman, Ranti dan beberapa kerabat lainnya. Juga tak lupa ku lihat bunga Edelwis di jendela kamar yang kulihat untuk pertamakalinya. Ada yang kurang saat itu, tak ada dia dalam penglihatanku.
Aku membutuhkan waktu yang lebih lama, karena ada sesorang yang sedang kutunggu. Aku membutuhkan sinar yang lebih banyak karena untuk melihatnya sinar pagi ini tak cukup. Aku membutuhkan kepastian kapan datangnya dirinya, karena ada rindu yang terus menunggu. Dalam doa aku selalu berharap pemberi bunga itu yang akan aku lihat pertamakali. Bahkan sebelum operasi, aku berharap setidaknya dalam bawah sadarku aku bisa bertemu atau mendengar langkah kakinya. Tapi, tak ada sedikitpun tanda kedatangannya.
Tiga bulan setelah operasi mata yang kujalani, tak ada masalah serius dari mataku. Bahkan dokter Hermawan bilang mataku sudah pulih total. Tapi ada sisi yang kosong dalam hatiku. Ada bagian dari dunia ini yang amat indah tapi belum sempat kulihat lagi. Ada mata yang memerah setiapkali ingat sebenarnya mata ini menunggu seseorang untuk dilihatnya. Aku merindukan dia, yang tak pernah lagi kudengar jejak langkahnya mendekat.
Hari ini, ibu memintaku dan Ranti menyebarkan beberapa surat undangan dan mengambil beberapa barang untuk persiapan pernikahannya.
“Gendis, pilihkanlah bunga yang cantik untuk ibu. Kemudian berikanlah surat undangan ini untuk penjual bunga itu.” Ibu memberiku sebuah alamat toko bunga. Agak aneh rasanya, ibu yang tidak meyukai bunga memintaku untuk mengambil bunga pesanannya dan memintaku memilihkan bunga untuknya. Mungkin saat momen pernikahannya ibu ingin banyak di hiasi bunga yang mengambarkan kebahagiaannya.
Aku dan ranti keluar dari sebuah butik yang membuat gaun pernikahan ibu. Kemudian kami memisahkan diri. Ranti pergi menuju tempat pembuatan kue yang telah ibu pesan dan aku pergi meuju toko bunga yang telah ibu tunjukan.
                Aku menyusuri jalan sendiri untuk pertamakalinya setelah mataku kembali bisa melihat. Agak canggung rasanya melihatnya banyak kerumunan orang dan kendaraan dijalan. Rasa takut karena kesendirian tiba-tiba merasuk dalam diriku. Aku berbalik, lalu melangkah mencari Ranti, berharap disepanjang penglihatanku ia masih terlihat. Tapi Ranti sepertinya sudah jauh berjalan. Aku beranikan diri terus mencari alamat yang dituju. Bertanya letak toko bunga itu berada. Sampai akhirnya kutemui toko bunga yang dituliskan dalam kartu nama yang ibu berikan padaku. Aku terus melangkah mendekati toko itu. Aku melihat dibalik kaca toko itu ada seorang pria yang sedang merapihkan bunga-bunganya.mungkin dia adalah pemilik toko bunga.
                Semakin aku berjalan mendekati toko bunga tersebut. Sambil melihat bunga yang cocok untuk pernikahan ibu. Tepat didepan pintu masuk aku mencari keberadaan pria yang tadi kulihat dari kaca transparan tokonya. Pria itu masih saja merapihkan bunga-bunganya dengan posisi membelakangi dinding kaca yang transparan itu sehingga aku tak dapat melihat wajahnya.
                Aku memperhatikannya, pria itu mungkin sudah agak tua. Dengan tongkat yang ia pegang oleh tangan kirinya dan bunga-bunga yang ia rapihkan dengan tangan kanannya. Aku bisa menebak bahwa pria ini adalah pria yang penuh perjuangan dan ketegaran. Perlahan aku semakin mendekati pintu masuk dan membuka pintu itu.
                Sesaat aliran darahku, jantungku rasanya terhenti dan mati rasa. Aku melihat wajahnya. Wajah yang tak asing dalam mata bahkan hatiku. Wajah yang biasanya hanya bisa hadir dalam gelap mataku. Sosok yang kutunggu kehadirannya, menyapa pagiku. Pria yang hanya bisa kutemui dilangit kehadirannya dalam doa-doa yang ia panjatkan untukku. Selipan harap yang menugurku bahwa rindu yang terjaga tak sekedar membuat sakit penantian, tetapi obat kesepian. Hatiku sakit menunggu kepastian kehadirannya dan hati ini pula yang kembali pulih dari kesepian ketika bertemunya. Rindu yang hadir diantara cinta dan amarah. Penantian yang muncul karena kesepian dan penyesalan. Kini sudah terbayar. Meski pertemuan yang ada dilumuri antara keberanian dan rasa bersalah. Aku melangkah mendekatinya dengan bibir yang membeku tapi memaksa untuk berucap.
                “Ayah”. Hanya itu yang terucap. Aku tak bisa lagi berpura-pura dalam diam seperti dulu. Meski hanya satu kata itu yang dapat terucap.
                Ia membalikkan badannya kearahku, dan terjatuh sesaat ketika dia melihatku karena tongkat yang ia pegang terlepas dari tangannya. Serapuh inikah sosok yang kutunggu. Bahkan dia lebih menyedihkan dari yang kukira. Kebencian karena dia pernah pergi dariku sirna ketika kulihat mungkin kenyataan membuat dia takut menghadapku. Ayah yang selama ini hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Selalu mempersalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku dan ibu.
                Dulu aku hidup bahagia bersama ayah dan ibu, tepatnya sebelum ayah mengalami kebangkrutan dan laporan bahwa ayah terlibat dalam kasus suap menyuap. Saat itu, ayah dan ibu langsung berpisah. Ibu membawaku pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bertemu dengan ayah. Kejadian itu sudah tujuh tahun yang lalu. Setelah itu tak ada kabar lagi yang kudengar dari ayah. Sampai akhirnya, sekitar 3 tahun yang lalu ayah mengirim surat untukku, mengabarkan keadaannya baik-baik saja dan perkara suap menyuapnya sudah dinyatakan tak bersalah. Dalam hal ini aku tak menyalahkan ibu yang berpisah dengan ayah dalam keadaan ayah sulit. Ibu marah pada ayah bukan karena kebangkrutannya. Ibu marah karena ayah terlalu pengecut terhadap keadaan. Ingat benar dalam benakku bahwa ayah meminta ibu untuk sementara pulang kerumah nenek sampai masalah ekonomi keluarga membaik. Saat itu, ibu ingin berjuang disamping ayah. Tapi ayah terlalu takut untuk melihat ibu dan aku mehadapi permasalahan yang dialaminya. Sampai akhirnya, cinta ayah yang besar pada ibu, membuat ayah melepas ibu dan aku.
                Setelah surat yang kuterima dari ayah, aku langsung mencari keberadaan ayah tanpa sepengetahuan ibu. Kami bertemu meski hanya dalam hitungan jam. Ayah langsung mengantarkanku pulang. Tak kusangka dalam perjalanan motor yang membawa aku dan ayah mengalami kecelakaan yang membutakan mataku. Saat itulah, kebencian ibu makin mendalam saat tahu aku pergi bersama ayah. Cinta telah menumbuhkan rasa amarah ibu kepada ayah. Cinta telah membuat rasa bersalah dan penyesalan besar bagi ayah. Cinta yang memudarkan garis mimpi dan kenyataan untukku. Cinta yang ada ada dibatas rindu dan kebencian.
                Melihat kondisi ayah aku menangis. Tertusuk hatiku mengingat rasa bersalah yang ia rasakan tak sepatutnya ada. Tubuh yang tak lagi tegap membuatku tahu bebannya teramat besar. Kaki kiri yang tak lagi sempurna mengabarkan padaku bahwa dia juga menderita. Kebutaan yang kualami, tak seharusnya dipersalahkan padanya. Sering kutanya kenapa langkah ayah membuat suara unik sehingga bisa kukenali jelas. Dan terjawablah, suara itu, dari tongkat yang dibawanya.
                Aku berlari memeluk ayah yang terduduk dilantai. Memeluknya begitu lama sampai mata ini terpusat pada satu objek. Bunga Edelweis. Bunga yang ia kirimkan dan ia simpan dijendela kamarku. Bunga yang ingin mengatakan bahwa cinta ayah padaku bertahan seper

Tidak ada komentar: