Jumat, 30 September 2016

PEMIMPIN ERA KEEMASAN


Tugas utama manusia dimuka bumi ini adalah beribadah kepada Allah dan menjadi pemimpin di bumi. Terkait dengan konsep kepemimpinan yang baik telah dicontohkan pada masa Rasulallah saw saat zamannya. Seiring  dengan berkembangnya zaman, seorang pemimpin yang kompeten harus bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang dipimpinnya.
Jika kita menoleh sejenak pada masa republik ini berjuang keras meraih cita cita kemerdekaan dari tangan penjajah, maka akan kita dapati catatan dan rekaman jejak sejarah dari pemimpin saat itu yang memiliki prinsip hidup. Mereka tidak disilaukan dengan limpahan materi, kekuasaan dan harta benda. Teladan seperti inilah yang harus dicontoh oleh pemimpin masa mendatang.
Kemerdekaan Indonesia pada 2045 merupakan momentum penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tidak sekedar melakukan pembenahan, perbaikan, dan pertumbuhan. Seratus tahun kemerdakaan Indonesia haruslah dimaknai dengan visi besar demi tegaknya sebuah negara bangsa yang bermartabat, maju, dan sejahtera. Visi besar inilah yang harusnya disematkan dalam lubuk hati setiap pemuda Indonesia.

Melahirkan seorang pemimpin emas untuk Indonesia emas bukan berbicara berapa besar uang yang digelontorkan untuk membiayai pendidikan calon pemimpin bangsa, menyekolahkan ke luar negeri, mengikutkan mereka pada kegiatan pengembangan softskill dan sebagainya. Namun, melahirkan pemimpin emas paling utama dibentuk oleh keluarga dan dirinya sendiri. Unsur pertama yang harus dibentuk dari seorang calon pemimpin adalah pendidikan karakter, Religiusitas’ dan moral. Betapa banyak memimpin saat ini yang memiliki softskill dan integritas tinggi tapi mengabaikan moral sehingga apa yang dimilikinya tidak dimanfaatkan dengan baik untuk memimpin. Bukankah Rasulallah menjadi pemimpin dengan mencontohkan tauladan yang baik bagi umatnya. 

Minggu, 27 Maret 2016

Beradu pada Manusia Mengadu pada Sang Pencipta

28 Maret 2016 

"Cukuplah manusia sebagai tempat peraduan, sekedar saling menggugurkan hak dan kewajiban. Mengadulah pada yang satu, yaitu Sang Pencipta"

Alunan kisah kau lantun pada setiap orang disampingmu. Hingga kau nyaman menggantungkan cerita ditelinga-telinga mereka. Berharap terlalu banyak pada hati manusia bahwa akan memberi rasa kasih dan empati. Tak selamanya kisahmu menjadi menarik, Akan tiba masa ceritamu tak lagi didengar. Saat itu, jangan salahkan keadaan yang tak sesuai maumu. Telinga manusia bisa bosan mendengar suara semerdu apapun. Lagu sebagus apapun akan bosan jika terus diputar. Karena kodrat manusia adalah memiliki kejenuhan, butuh sesuatu yang baru. Begitupun dengan kisahmu, mungkin akan terasa hambar dan membosankan jika terus kau perdengarkan kepada manusia. Cukuplah manusia jadi tempatmu beradu. Hanya sekedar saling menerima hak dan menggugurkan kewajiban sebagai sesama manusia, yaitu didengar dan mendengar. Selama ini kamu terlalu sibuk berharap pada manusia hingga titik hatimu dipeluk kegelapan. Hingga tak ada celah cahaya kebenaran bisa masuk dalam kalbu.

Maka kembalilah pada fitrahmu sebagai hamba dari Sang Pencipta. Biarkan waktumu kau habiskan dengan-Nya, kisahmu kau ceritakan pada-Nya. Bergantunglah dalam keridhoan-Nya. Adukan rasa lelah dan resahmu dihadapan-Nya. Suarakan rasa syukur dalam sujud malammu ketika bercengkrama dengan-Nya. Dia tak akan bosan mendengar ceritamu, keluh kesahmu, rengekanmu yang kau suarakan dalam kata “doa”. Bahkan dia cinta ketika air mata kau keluarkan karena bergantung pada-Nya.

Cukuplah selama ini kamu sibuk berandai-andai. Mulailah sibuk untuk berdoa dalam mimpi yang kau untai. Manusia hanya tempatmu beradu. Cukuplah sampai disitu. Agar kau tak terlalu tenggelam dalam lubang penyesalan, tak jua tersesat dalam gua kekecewaan. Bahu manusia terlalu rapuh, jangan terlalu lama kau singgah dan bersandar. Karena itu bisa mematahkan bahunya, membuat tubuhmu ikut terjatuh. Hati manusia terlalu lembut, mudah terluka jika tersakiti maka janganlah terlalu banyak membagi kisah padanya karena jika tersakiti maka peraduannya bisa menyakitkan. Hati manusia juga sekeras batu, bisa mematahkan apapun, maka janganlah terlalu dalam bertamu dihatinya.


Cukup sampai disini. Mengadulah hanya pada satu, yaitu Penciptamu. 

Kamis, 17 Maret 2016

Pesan Untukku

16 Maret 2016
23.03
Berkaca sebelum membina. Bercermin sebelum menyalahkan orang lain. 

Ketika upaya hanya sekedar kerja, menempuh amanah sekedar menunaikan kewajiban, tanpa ada makna cinta. Maka jangan salahkan jika amanah tuntas tanpa ada bekas.  Ketika kata-katamu tidak didengar. Coba bercermin pada dirimu. Mungkin kau sering tak mendengarkan kata-kata orang lain. Kala perintahmu tak dilakukan. Berkacalah, mungkin selama ini banyak perintah yang tak kau gubris dan amanah yang terlalaikan. Jika hatimu tersakiti atas prilaku binaanmu, coba berkaca prilakumu terhadap para pemimpinmu. Mungkin terlalu banyak kedzoliman yang kamu lakukan.

Kita butuh cinta. Maka sampaikanlah ajakanmu dengan cinta, Lantunkan tutur katamu dengan cinta, warnai sikapmu dengan cinta, iringilah semua bersama cinta karena Allah. Sesuatu yang disampaikan dengan cinta, maka akan tumbuh jadi cinta. Jika disampaikan dengan hati, maka akan sampai kehati. Sedangkan sesuatu yang hanya disampaikan lewat mulut maka sekedar didengar oleh telinga.

Tapi jika belum juga hati-hati terketuk, berkacalah pada hatimu. Apakah cinta dunia telah menguasai hatimu hingga tak ada ruang bagimu mencintai Sang Pencipta. Sampai taka da ruang jua bagi hati-hati yang lain untuk diisi oleh ajakanmu. Jangan salahkan mereka, yang kau ajak dalam kebaikan tapi tak juga mengikuti ajakanmu. Cobalah bercermin, sudahkah benar niatmu?
Jika pun mereka menjadi baik. Sadarlah itu bukan karenamu. Karena belum tentu kamu itu baik. Mungkin saja kamu tampak baik, karena Allah sedang menutup aibmu yang bersembunyi dalam pakaianmu. Sadarlah semua kebaikan bukan datang darimu, melainkan kuasa Sang Pencipta yang telah membolak-balikan hati manusia. Maka tak perlu kau bersombong atas perubahan mereka, karena hidayah bukan datang darimu. Janganlah berbangga hati ketika banyak orang yang tadinya tak baik menjadi baik , bisa jadi itu ujian bagimu. Menguji akan niatmu. Menguji apakah pujian akan melenakanmu.Allah mungkin sedang ingin melihat keikhlasanmu. Apa mungkin ajakanmu hanya untuk mendapat penghargaan dunia. Atau memang benar sebagai bentuk ketaqwaanmu.

berkacalah, bercerminlah!!!

Pesan ini ku tulis dalam muhasabah malam, setelah kejadian yang terjadi saat kegiatan asrama. Aku hanya ingin berkata : “Maaf”


16 Maret 2016
23.03
Berkaca sebelum membina. Bercermin sebelum menyalahkan orang lain. 
Ketika upaya hanya sekedar kerja, menempuh amanah sekedar menunaikan kewajiban, tanpa ada makna cinta. Maka jangan salahkan jika amanah tuntas tanpa ada bekas.  Ketika kata-katamu tidak didengar. Coba bercermin pada dirimu. Mungkin kau sering tak mendengarkan kata-kata orang lain. Kala perintahmu tak dilakukan. Berkacalah, mungkin selama ini banyak perintah yang tak kau gubris dan amanah yang terlalaikan. Jika hatimu tersakiti atas prilaku binaanmu, coba berkaca prilakumu terhadap para pemimpinmu. Mungkin terlalu banyak kedzoliman yang kamu lakukan.
Kita butuh cinta. Maka sampaikanlah ajakanmu dengan cinta, Lantunkan tutur katamu dengan cinta, warnai sikapmu dengan cinta, iringilah semua bersama cinta karena Allah. Sesuatu yang disampaikan dengan cinta, maka akan tumbuh jadi cinta. Jika disampaikan dengan hati, maka akan sampai kehati. Sedangkan sesuatu yang hanya disampaikan lewat mulut maka sekedar didengar oleh telinga.
Tapi jika belum juga hati-hati terketuk, berkacalah pada hatimu. Apakah cinta dunia telah menguasai hatimu hingga tak ada ruang bagimu mencintai Sang Pencipta. Sampai taka da ruang jua bagi hati-hati yang lain untuk diisi oleh ajakanmu. Jangan salahkan mereka, yang kau ajak dalam kebaikan tapi tak juga mengikuti ajakanmu. Cobalah bercermin, sudahkah benar niatmu?
Jika pun mereka menjadi baik. Sadarlah itu bukan karenamu. Karena belum tentu kamu itu baik. Mungkin saja kamu tampak baik, karena Allah sedang menutup aibmu yang bersembunyi dalam pakaianmu. Sadarlah semua kebaikan bukan datang darimu, melainkan kuasa Sang Pencipta yang telah membolak-balikan hati manusia. Maka tak perlu kau bersombong atas perubahan mereka, karena hidayah bukan datang darimu. Janganlah berbangga hati ketika banyak orang yang tadinya tak baik menjadi baik , bisa jadi itu ujian bagimu. Menguji akan niatmu. Menguji apakah pujian akan melenakanmu.Allah mungkin sedang ingin melihat keikhlasanmu. Apa mungkin ajakanmu hanya untuk mendapat penghargaan dunia. Atau memang benar sebagai bentuk ketaqwaanmu.
berkacalah, bercerminlah!!!
Tulisan ini ku tulis dalam muhasabah malam, setelah kejadian yang terjadi saat kegiatan asrama. Aku hanya ingin berkata : “Maaf”


Jumat, 12 Februari 2016

Jalinan Ukuwah dalam Lingkaran Dakwah



Dalam untaian sandiwara dunia
Kuperlihatkan tekadku yang bukan sekedar hidup menghirup semata
Ketika sahutan kalbuku berkata dusta
Kau hadir sadarkanku dengan firman-Nya
Ketika kefuturanku menjelma
Kau ajak aku tapaki lingkaran cinta
Aku ingin mencari fitrahku
Dan kau menuntunku
Terimakasih ukhti
Kau ajarkan aku cinta dari perjuangan dakwah
Kau ajak aku jalinan setia dalam lingkaran ukuwah
Kau tuntun aku menegakan kalimat tauhid
Terimakasih telah jadi pengingatku
Dalam segala kehilafanku
Semoga kita berjumpa di altar jannah
Bercengkrama bersama bidadari surga
Menghirup wanginya aroma ukuwah

Menggigit lezatnya buah dakwah bersama

This about Me


Malam tak pernah cemburu pada siang, begitupun sebaliknya.  Meski tatkala malam datang, dunia luar dicampakan oleh berbondong manusia yang kembali dalam hangat keluarga. Akar tak pernah jua membangkang pada takdirnya yang harus terus tersembunyi. Padahal tanpanya, batang, daun, bunga, dan buah tak akan bertahan.  Begitulah, masing-masing makhluk sudah memiliki kodratnya tersendiri. Allah punya rencana teramat indah. Menyiapkan malam yang dingin agar manusia dapat beristirahat dan merasakan hangatnya keluarga. Menempatkan malam sebagai waktu manusia berinteraksi dengan-Nya. Begitupun akar, tetap kokoh pada prinsipnya yang semakin kuat dalam mencengkram bumi. Simponi malam, kekakuan akar, membuatku banyak belajar untuk ikhlas dan mengambil hikmah atas segala kodrat dari Allah.
Kadang, aku berpikir menjadi akar. Diam tersembunyi dan ketika semakin dalam bersembunyi akan semakin kuat kurasa. Tapi aku bukan akar, aku butuh terlihat agar hadirku ­bukan sekedar bayangan. Ya. Aku ingin kekokohan jiwa namun seirama dengan langkah dakwah. Dan ku sadari langkah dakwahku diam ketika aku menjadi akar. Kadang aku pun ingin seperti malam, tempat orang lain menyandarkan kelelahan dan merasakan kehangatan.

Cukuplah berbasa basi akan akar dan malam. Terpenting yang ingin kusampaikan adalah biarkan taqwa ini diiringi kodratnya, mengalir bersama perintah pencipta-Nya. Seperti akar dan malam, aku punya kodratku sendiri, yaitu kodratku sebagai wanita. 

SAHABAT MASA DEPAN

Senandung doaku tak akan terhenti menunggu datangnya petunjuk yang akan menuntunku. Jika menunggu adalah perintah dari Sang Pencipta, aku rela terus menunggu. Kesendirian ini akan kurasakan dengan nikmat. Jika kalbu ini masih tunduk kepada pemilik-Nya, ku pastikan jiwa dan raga ini pun masih suci menyambutmu. Kan ku tunggu dirimu sambil aku mempersiapkan jamuan untukmu. Akhlak solihah cukupkah sebagai pemulaan jamuan itu?
Wahai engkau yang sedang dalam perjalanan ke arahku, mungkin jalanmu panjang dan menyakitkan, mungkin juga kompas menyesatkanmu kearah pesona bunga menawan lainnya. Tapi aku akan menunggu dengan prasangka baik bahwa hatimu akan terjaga untukku.
Untukmu yang tertulis dalam kitab Lauhul mahfudz sebagai imamku, ku tunggu fitrahku sambil merangkai takwaku. Kutunggu sambil aku memperbaiki dan menata hatiku sampai tiba waktunya Sang Maha Penyayang mempertemukan kita. Kan ku sambut hari itu,  ketika terbuka pintu fitrahku sebagai pendamping dunia akhiratmu.
Untukmu calon imamku, yang kelak akan mengantarkan aku menuju keridhoan Allah. Aku wanita yang begitu banyak dosa karenanya aku membutuhkanmu untuk menuntunku menuju surga Allah. Engkau yang akan selalu mendesahkan kalimat tauhid dalam setiap ucapanmu. Bidadari dunia lain sungguh sangat cantik, tapi bisakah engkau menutup mata dari mereka. Karena cemburuku bisa seperti ibunda Aisyah yang menghanguskan pohon kurma.
Membayangkan menjalani sunnah rasul bersamamu dan merangkai ukuwah sakinnah denganmu membuat haruku tersendu. Menapaki perjalanan dan mencatat sejarah cinta yang berkah. Menggoreskan kenangan yang akan dikenang itu sungguh indah.

Untukmu, entah kapan kita bertemu. Entah dimana kita akan memangdang untuk pertama kalinya. Entah dalam kondisi apa hati kita akan terpaut ikatan yang kuat. Entah di dunia kita akan berjumpa atau mungkin di akhirat cinta kita akan terangkai.

EDELWEIS


Dalam kesejukan udara pagi yang segar, aku selalu ikhlas merelakan usainya tidurku untuk menikmati pesonanya. Saat asap kendaraan belum banyak menjadi pengusik, saat para wanita sedang menjamu dan mempersiapkan sanak keluarganya untuk beraktivitas. Andai pagi itu lebih lama, tak perlu ku curi udara pagi dengan tergesa-gesa. Pagi ini sama seperti biasanya, aku terbaring dengan jendela kamar yang telah terbuka. Terhanyut dalam wangi bunga Edelwis. Bunga yang dibawakan orang special bagiku. Tanda akan keabadian kasih sayang antara aku dan dia.
Bunga ini punya cerita tersendiri bagiku. Bunga yang selalu kutunggu setiap pagi bukan hanya karena keabadian makna dibalik bunga ini saja tapi terpenting adalah karena kehadiran pemberinya. Aku selalu menunggu setiap pagi, karena hanya pagi dapat kucium bau tubuhnya. Aku selalu berusaha bangun sepagi mungkin, karena dia hadir amat pagi dan singkat. Aku ingin waktu pagi hanyalah milikku meski hanya sesaat aku dapat bersamanya. Meski hanya belayan tangan didahiku yang selalu kurasa, diam tanpa kata. Aku yang pura-pura tertidur hanya bisa mendengar langkah kakinya yang diselimuti keraguan, hembus napasnya yang disesaki penyesalan dan belai tangan yang dikekang kesepian. Aku benci dengan kepura-puraan tapi aku amat akbar dengan itu. Aku memang selalu pura-pura tertidur karena dengan begitu dia tak akan lari. Dalam tidur selalu ku coba menafsirkan kata-kata dalam belaiannya. Rasa penyesalahan, permohonan maaf dan kesepian, itu yang selalu kurasa dalam belai tangannya. Orang itu begitu rapuh karena terlalu sering menyalahkan dirinya. Orang itu adalah pria yang kucintai.
Kembali pagi ini aku mendengar jejak langkah dari sepatunya. Tapi ada yang berbeda kali ini, ada tetes air mata yang jatuh. Ada isakan yang gemetar. Ada bisikan yang suaranya payau. Ada genggam tangan yang begitu terkekang. Ada pesan dalam tubuhnya bagai ingin mengatakan kata perpisahan. Tak kuasa kebingungan kenyelimutiku, ketakutan menusuk bagian dalam hatiku. Aku tak ingin lagi jauh darinya, memendam rindu hanya untuk merasakan kehadirannya. Bukan sekedar rindu yang akan menyesakkan hati, tapi menunggu yang tak pasti untuk datang kembali itu lebih menyiksa karena membuat suasana hati sepi. Diam, tak apalah kami saling diam, saling menyembunyikan rindu dalam keheningan karena kami sudah terbiasa saling menjabarkan makna sentuhan menjadi kata-kata.
Rasa takut telah mengalahkan kepura-puraanku. Aku bangun dari kepura-puraan tidurku. Menggenggam erat tanggannya, menarik tubuhnya yang semakin menjauh ketika tahu aku terbangun. Dia terkejut dan mencoba melepaskan genggamanku. Tapi aku tahu rasa rindunya sama besar dengan rasa rinduku. Aku tarik tubuhnya, kusandarkan kepalaku dibahunya. Dia pun mengalah, membelai rambutku, melepas rindu padaku, dan mencium keningku. Aku penasaran dengan wajahnya setelah tiga tahun kami tak saling bertemu. Ku pegang hidungnya, dahinya, bibirnya. Ah, rasanya dia masih gagah seperti yang kukenal dulu. Perlahan kuhapus air mata yang ada di wajahnya, begitu hangat air matanya, begitu sedihkah pria ini melihat wanita yang paling dicintainya sedang berbaring tanpa bisa melihatnya yang sudah lama tak berjumpa. Ia langsung memelukku begitu erat dan perlahan berlalu pergi. Lagi-lagi kami hanya diam, tanpa satu kata yang terucap, hanya tubuh kami yang saling menjabarkan kata.
Dia pergi, tapi kepergian yang tak biasa. langkah kakinya berbicara bahwa dia dalam keraguan dan seakan ingin berucap selamat tinggal. Sampai langkah kaki itu tak terdengar, aku terus menangis. Berteriak namanya. Berharap suaraku akan menggerakan tubuhnya untuk kembali. Tapi jejak langkahnya semakin menjauh, dan akhirnya tak dapat kudengar. Dia telah pergi.
Ibu datang menghampiriku, membawakan sarapan yang sudah disiapkan rumah sakit. Menyuapiku perlahan dengan penuh sayang. Dengan sabar merawatku yang sudah dua minggu dalam pembaringan. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dan ibu mencoba menghiburku tanpa bertanya kenapa menangis. Meski ia tahu alasan kesedihanku. Bagi ibu, tak ada kata dan cerita untuk pria itu. pria itu dianggapnya adalah kegelapan untukku. Besarnya kebencian ibu pada pria itu sama layaknya rasa cintaku kepada pria itu. kami hanya mencoba saling menghargai. Mungkin karena rasa cinta yang amat besar juga membuat kebencian besar di hati ibu.
“Gendis, Dr Hermawan bilang dua hari lagi kamu sudah bisa dioperasi.” Kata ibu yang sedang menyuapiku makan.
Entah mengapa aku tak begitu bahagia. Bagai teka-teki dari sikap pria itu telah ku pecahkan. Benarkah dia tak akan lagi hadir dipagi hari karena tahu aku akan dioperasi dan kembali bisa melihat. Apakah mataku begitu menggambarkan kebencian padanya. Haruskah aku terus memandangnya dalam gelap agar selalu bisa bersamanya. Bahkan kegelapan dunia tak apa bagiku selagi dia ada disampingku. Kegelapan ini yang membawanya datang padaku dan mungkinkah kegelapan ini juga yang akan menjauhkannya dariku.
Ibu membawa ku keruang Dr Hermawan. Segera aku menjalani banyak pemeriksaan. Kebutaan yang kualami akibat kecelakaan. setelah tiga tahun aku dalam kebutaan, ibu memperkenalkan ku dengan dr Hermawan yang tak lain adalah kekasih ibu. Dokter Hermawan adalah pria yang baik untuk ibu. Dua tahun lalu, setelah ibu mencari dokter untuk mengobati kebutaanku, ibu dikenalkan dengan dokter Hermawan. Karena keduanya pernah merasakan kegagalan rumah tangga, hubungan ibu dan dokter Hermawan terus berlanjut dan berencana akan menikah setalah operasiku ini. Bagiku, kebahagiaan ibu adalah kebahagianku. Sehingga aku langsung menyetujui ketika ibu memperkenalkan dokter Hermawan sebagai kekasihnya padaku.
“Lusa kamu bisa dioperasi. Kondisi kamu semakin membaik. Kemungkinan besar untuk kamu kembali bisa melihat.” Ucap dokter Hermawan  diakhir penjelasannya.
Ibu hari ini pergi bersama paman. Mengurus persiapan operasiku.
-          -      -             
Pagi ini ada cahaya yang masuk ke retinaku. Membuat banyak warna dalam penglihatanku. Agak asing melihat begitu banyak warna dimataku. Rasanya, suasana ketika mata terpejam lebih akrab denganku. sinarnya terlalu silau, membuatku seringkali harus mengerutkan mata. pagi ini tepat disaat perban dimataku dibuka dan aku bisa melihat warna-warni disekelilingku. Ibu, dokter Hermawan, paman, Ranti dan beberapa kerabat lainnya. Juga tak lupa ku lihat bunga Edelwis di jendela kamar yang kulihat untuk pertamakalinya. Ada yang kurang saat itu, tak ada dia dalam penglihatanku.
Aku membutuhkan waktu yang lebih lama, karena ada sesorang yang sedang kutunggu. Aku membutuhkan sinar yang lebih banyak karena untuk melihatnya sinar pagi ini tak cukup. Aku membutuhkan kepastian kapan datangnya dirinya, karena ada rindu yang terus menunggu. Dalam doa aku selalu berharap pemberi bunga itu yang akan aku lihat pertamakali. Bahkan sebelum operasi, aku berharap setidaknya dalam bawah sadarku aku bisa bertemu atau mendengar langkah kakinya. Tapi, tak ada sedikitpun tanda kedatangannya.
Tiga bulan setelah operasi mata yang kujalani, tak ada masalah serius dari mataku. Bahkan dokter Hermawan bilang mataku sudah pulih total. Tapi ada sisi yang kosong dalam hatiku. Ada bagian dari dunia ini yang amat indah tapi belum sempat kulihat lagi. Ada mata yang memerah setiapkali ingat sebenarnya mata ini menunggu seseorang untuk dilihatnya. Aku merindukan dia, yang tak pernah lagi kudengar jejak langkahnya mendekat.
Hari ini, ibu memintaku dan Ranti menyebarkan beberapa surat undangan dan mengambil beberapa barang untuk persiapan pernikahannya.
“Gendis, pilihkanlah bunga yang cantik untuk ibu. Kemudian berikanlah surat undangan ini untuk penjual bunga itu.” Ibu memberiku sebuah alamat toko bunga. Agak aneh rasanya, ibu yang tidak meyukai bunga memintaku untuk mengambil bunga pesanannya dan memintaku memilihkan bunga untuknya. Mungkin saat momen pernikahannya ibu ingin banyak di hiasi bunga yang mengambarkan kebahagiaannya.
Aku dan ranti keluar dari sebuah butik yang membuat gaun pernikahan ibu. Kemudian kami memisahkan diri. Ranti pergi menuju tempat pembuatan kue yang telah ibu pesan dan aku pergi meuju toko bunga yang telah ibu tunjukan.
                Aku menyusuri jalan sendiri untuk pertamakalinya setelah mataku kembali bisa melihat. Agak canggung rasanya melihatnya banyak kerumunan orang dan kendaraan dijalan. Rasa takut karena kesendirian tiba-tiba merasuk dalam diriku. Aku berbalik, lalu melangkah mencari Ranti, berharap disepanjang penglihatanku ia masih terlihat. Tapi Ranti sepertinya sudah jauh berjalan. Aku beranikan diri terus mencari alamat yang dituju. Bertanya letak toko bunga itu berada. Sampai akhirnya kutemui toko bunga yang dituliskan dalam kartu nama yang ibu berikan padaku. Aku terus melangkah mendekati toko itu. Aku melihat dibalik kaca toko itu ada seorang pria yang sedang merapihkan bunga-bunganya.mungkin dia adalah pemilik toko bunga.
                Semakin aku berjalan mendekati toko bunga tersebut. Sambil melihat bunga yang cocok untuk pernikahan ibu. Tepat didepan pintu masuk aku mencari keberadaan pria yang tadi kulihat dari kaca transparan tokonya. Pria itu masih saja merapihkan bunga-bunganya dengan posisi membelakangi dinding kaca yang transparan itu sehingga aku tak dapat melihat wajahnya.
                Aku memperhatikannya, pria itu mungkin sudah agak tua. Dengan tongkat yang ia pegang oleh tangan kirinya dan bunga-bunga yang ia rapihkan dengan tangan kanannya. Aku bisa menebak bahwa pria ini adalah pria yang penuh perjuangan dan ketegaran. Perlahan aku semakin mendekati pintu masuk dan membuka pintu itu.
                Sesaat aliran darahku, jantungku rasanya terhenti dan mati rasa. Aku melihat wajahnya. Wajah yang tak asing dalam mata bahkan hatiku. Wajah yang biasanya hanya bisa hadir dalam gelap mataku. Sosok yang kutunggu kehadirannya, menyapa pagiku. Pria yang hanya bisa kutemui dilangit kehadirannya dalam doa-doa yang ia panjatkan untukku. Selipan harap yang menugurku bahwa rindu yang terjaga tak sekedar membuat sakit penantian, tetapi obat kesepian. Hatiku sakit menunggu kepastian kehadirannya dan hati ini pula yang kembali pulih dari kesepian ketika bertemunya. Rindu yang hadir diantara cinta dan amarah. Penantian yang muncul karena kesepian dan penyesalan. Kini sudah terbayar. Meski pertemuan yang ada dilumuri antara keberanian dan rasa bersalah. Aku melangkah mendekatinya dengan bibir yang membeku tapi memaksa untuk berucap.
                “Ayah”. Hanya itu yang terucap. Aku tak bisa lagi berpura-pura dalam diam seperti dulu. Meski hanya satu kata itu yang dapat terucap.
                Ia membalikkan badannya kearahku, dan terjatuh sesaat ketika dia melihatku karena tongkat yang ia pegang terlepas dari tangannya. Serapuh inikah sosok yang kutunggu. Bahkan dia lebih menyedihkan dari yang kukira. Kebencian karena dia pernah pergi dariku sirna ketika kulihat mungkin kenyataan membuat dia takut menghadapku. Ayah yang selama ini hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Selalu mempersalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku dan ibu.
                Dulu aku hidup bahagia bersama ayah dan ibu, tepatnya sebelum ayah mengalami kebangkrutan dan laporan bahwa ayah terlibat dalam kasus suap menyuap. Saat itu, ayah dan ibu langsung berpisah. Ibu membawaku pergi tanpa memberiku kesempatan untuk bertemu dengan ayah. Kejadian itu sudah tujuh tahun yang lalu. Setelah itu tak ada kabar lagi yang kudengar dari ayah. Sampai akhirnya, sekitar 3 tahun yang lalu ayah mengirim surat untukku, mengabarkan keadaannya baik-baik saja dan perkara suap menyuapnya sudah dinyatakan tak bersalah. Dalam hal ini aku tak menyalahkan ibu yang berpisah dengan ayah dalam keadaan ayah sulit. Ibu marah pada ayah bukan karena kebangkrutannya. Ibu marah karena ayah terlalu pengecut terhadap keadaan. Ingat benar dalam benakku bahwa ayah meminta ibu untuk sementara pulang kerumah nenek sampai masalah ekonomi keluarga membaik. Saat itu, ibu ingin berjuang disamping ayah. Tapi ayah terlalu takut untuk melihat ibu dan aku mehadapi permasalahan yang dialaminya. Sampai akhirnya, cinta ayah yang besar pada ibu, membuat ayah melepas ibu dan aku.
                Setelah surat yang kuterima dari ayah, aku langsung mencari keberadaan ayah tanpa sepengetahuan ibu. Kami bertemu meski hanya dalam hitungan jam. Ayah langsung mengantarkanku pulang. Tak kusangka dalam perjalanan motor yang membawa aku dan ayah mengalami kecelakaan yang membutakan mataku. Saat itulah, kebencian ibu makin mendalam saat tahu aku pergi bersama ayah. Cinta telah menumbuhkan rasa amarah ibu kepada ayah. Cinta telah membuat rasa bersalah dan penyesalan besar bagi ayah. Cinta yang memudarkan garis mimpi dan kenyataan untukku. Cinta yang ada ada dibatas rindu dan kebencian.
                Melihat kondisi ayah aku menangis. Tertusuk hatiku mengingat rasa bersalah yang ia rasakan tak sepatutnya ada. Tubuh yang tak lagi tegap membuatku tahu bebannya teramat besar. Kaki kiri yang tak lagi sempurna mengabarkan padaku bahwa dia juga menderita. Kebutaan yang kualami, tak seharusnya dipersalahkan padanya. Sering kutanya kenapa langkah ayah membuat suara unik sehingga bisa kukenali jelas. Dan terjawablah, suara itu, dari tongkat yang dibawanya.
                Aku berlari memeluk ayah yang terduduk dilantai. Memeluknya begitu lama sampai mata ini terpusat pada satu objek. Bunga Edelweis. Bunga yang ia kirimkan dan ia simpan dijendela kamarku. Bunga yang ingin mengatakan bahwa cinta ayah padaku bertahan seper